1.
Pengertian
Anak berkebutuhan khusus adalah anak
yang secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan atau penyimpangan fisik,
pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain sehingga
memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah Anak Luar Biasa dan anak cacat berbeda dengan
anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi
atau fisik. Yang termasuk kedalam Anak Berkebutuhan Khusus antara lain: tunanetra,
tunarungu,
tunagrahita,
tuna wicara . Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, Anak Berkebutuhan
Khusus memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan
kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan
modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan
tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa
isyarat. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar
Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B
untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa,
SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
2.
Klasifikasi dan karakteristik
a.
Tunarungu
Tuna rungu adalah anak yang
mengalami hambatan atau kelainan dalam segi pendengaran dan kesulitan
komunikasi.
Tuna rungu (hearing impairment)
merupakan satu istilah umum yang menunjukkan ketidakmampuan mendengar dari yang
ringan sampai yang berat sekali yang digolongkan kepada tuli (deaf) dan
kurang dengar (a hard of hearing).
1) Klasifikasi Tunarungu
Tuna rungu dapat diklasifikasikan berdasarkan empat hal,
yaitu:
a) Tunarungu ringan (mild hearing loss)
Siswa yang tergolong tunarungu
ringan mengalami kehilangan pendengaran antara 27-40 dB, ia sulit mendengar
suara yang jauh sehingga membutuhkan tempat duduk yang letaknya strategis
b) Tuna
rungu sedang (moderate hearing loss)
Siswa yang tergolong tunarugu sedang
mengalami kehilangan pendengaran anatara 41-55 dB, ia dapat mengerti percakapan
dari jarak 3-5 feet secara berhadapan ( face to face), tetapi
tidak dapat mengikuti diskusi kelas. Ia membutuhkan alat bantu dengar serta
terapi bicara.
c) Tunarungu
agak berat (moderately severe hearing loss)
Siswa yang tergolong tunarungu agak
berat mengalami kehilangan pendengaran antara 56-70 dB, ia hanya dapat
mendengar suara dari jarak dekat sehingga ia perlu menggunakan hearing aid.
d) Tunarungu (severe hearing loss)
Siswa yang tergolong tunarungu berat mengalami kehilangan
pendengaran antara 71-90 dB, sehingga ia hanya dapat mendengar suara-suara yang
keras dari jarak dekat.
e) Tunarungu berat sekali (profound hearing
loss)
Siswa yang tergolong tunarungu berat
sekali mengalami kehilangan pendengaran lebih dari 90 dB, mungkin ia masih
mendengar suara yang keras, tetapi ia
lebih menyadari suara melalui getarannya (visbratiaons) dari pada
melalaui pola suara.
Berdasarkan saat terjadinya, ketunarunguan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
a) Ketunarunguan prabasa (prelingual
deafness), yaitu kehilangan pendengaran yang terjadi sebelum kemampuan bicara dan bahasa
berkembang.
b) Ketunarunguan pascabahasa (post
lingual deafness), yaitu kehilangan pendengaran yang terjadi beberapa tahun
setelah kemampuan bicara dan bahasa berkembang.
Berdasarkan letak gangguan
pendengaran secara anatomis, ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a) Tunarungu tipe konduktif, yaitu
kehilangan pendengaran yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga
bagian luar dan tengah yang berfungsi sebagai alat konduksi atau pengantar
getaran suara menuju telinga bagian dalam.
b) Tunarungu tipe sensorineural, yaitu
yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga dalam serta saraf
pendengaran (nervus chochlearis)
c) Tunarungu tipe campuran yang
merupakan gabungan tipe konduktif dan sensorineural, artinya
kerusakan terjadi pada telinga pada telinga luar/tengah dengan telinga
dalam/saraf pendengar
Berdasarkan etiologi atau usulnya ketunarunguan
diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Tunarungu endogen, yaitu yang
disebabkan oleh faktor genetik (keturunan)
b) Tunarungu eksogen, yaitu tunarungu
yang disebabkan oleh faktor non genetik (bukan keturunan)
2) Karakteristik Tunarungu
Adapun untuk
karakteristik anak tunarungu terbagi menjadi tiga yaitu:
1) Karakteristik
anak tuna rungu dalam aspek akademik
Keterbatasan
dalam kemampuan berbicara dan berbahasa mengakibatkan anak tunarungu cenderung
memiliki prestasi yang rendah dalam mata pelajaran yang bersifat verbal dan
cenderung sama dalam mata pelajaran yang bersifat nonverbal dengan anak normal
seusianya.
2) Karakteristik
anak tunarungu dalam aspek sosial-emosional adalah sebagai berikut:
a) Pergaulan
terbatas sesama tunarungu, sebagai akibat dari keterbatasan dalam kemampuan
berkomunikasi.
b) Sifat
egosentris yang melebihi anak normal, yang ditujukandengan sukarnya mereka
menempatkan diri pada situasi berpikir dan perasaaan orang lain, sukarnya
menyesuaikan diri serta tindakannya lebih terpusat pada”aku-ego” sehingga kalau
ada keinginan, harus selalu terpenuhi.
c) Perasaaan
takut (khawatir) terhadap lingkungan sekitar, yang menyebabkan ia tergantung
pada orang lain serta kurang percaya diri.
d) Perhatian
anak tunarungu sulit dialihkan, apabila ia sudah menyenangi satu benda atau
pekerjaan tertentu.
e) Memiliki
sifat polos, serta perasaannya umumnya dalam keadaan ekstrim tanpa banyak
nuansa.
f) Cepat
marah dan mudah tersinggung, sebagai akibat seringnya mengalami kekecewaan
karena sulitnya menyampaikan perasaan/keinginannya secara lisan ataupun dalam
memahami pembicaraan orang lain